
Tunggulsari: Suara Mangrove dari Pesisir yang Terancam Ditelan Laut
Pada suatu pagi yang lembab dan sunyi di Desa Tunggulsari, Kecamatan Tayu, Pati, Wati duduk di ambang pintu rumahnya yang setengah tenggelam. Ia tidak menatap laut. Laut telah datang sendiri, tanpa diundang, menyusup ke sela-sela kehidupan, dan menjelma menjadi genangan asin yang membusuk di halaman rumah.
Di depannya, air pasang telah menjadi tamu lama. Ia tidak lagi asing. Telah menyatu dengan jalan setapak, tambak nila, dan reranting mangrove yang dulu tumbuh dengan tenang. Telah sebulan lamanya air itu bertahan, seperti kenangan yang tak ingin pergi.
“Sudah sebulan seperti ini,” kata Wati pelan, matanya menatap datar ke arah tambak yang dulu menjadi tempat suaminya bekerja. Kini, tambak itu hanyalah hamparan air asin bercampur lumpur. Tak ada ikan. Hanya bangkai-bangkai kecil yang mengambang perlahan, menebar bau getir.

Bantuan datang—karung beras dan mie instan—tapi laut tak bisa dikuras dengan mie dan logistik. “Kami masih bingung buat ke depannya bagaimana,” ujarnya. Suaranya pelan, nyaris menepi di antara riak air yang terus bertahan.
Di RT 5, Kurniasih mengangkat ujung sarungnya agar tidak basah saat melangkah di antara genangan. Ia sudah hidup berdamai dengan air, tapi tahun ini berbeda. “Biasanya tidak parah, tapi ini sudah satu bulan belum surut,” katanya.
Ia menyebut soal pengerukan sungai yang absen. “Dulu dua bulan sekali selalu dibersihkan. Sekarang tidak ada. Kami bingung juga.”
Dalam ketidakpastian, ia menggantungkan harapan pada layar kecil di tangannya. Ia memantau pasang-surut laut lewat internet, seperti menunggu musuh tak kasat mata. “Supaya bisa berjaga-jaga,” bisiknya.
Desa Tunggulsari tak hanya berhadapan dengan rob. Ia berhadapan dengan perencanaan yang terputus-putus, konservasi yang tercerabut dari akar rumput, dan mimpi ekowisata yang belum sempat mekar sebelum dihanyutkan gelombang pasang.
Di atas kertas, Tunggulsari dirancang sebagai Desa Wisata Mina Mangrove—sebuah gagasan ideal yang menyatukan pelestarian lingkungan, pemberdayaan ekonomi warga, serta promosi pariwisata berbasis ekosistem pesisir. Harapannya, mangrove akan menjadi benteng alam sekaligus penopang ekonomi alternatif. Namun realitas di lapangan berbicara lain.
Genangan air yang menetap selama berbulan-bulan perlahan-lahan melumpuhkan semua rencana. Akar-akar mangrove mulai tergenang lebih dari yang bisa ditoleransi.
Tambak-tambak nila yang dikelola warga berubah menjadi kolam mati. Wisatawan tidak datang. Jalan rusak. Dan warga kembali pada siklus bertahan hidup, tanpa tahu kapan mereka bisa kembali bermimpi.
Dalam konteks inilah, gagasan dari Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto, dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, menjadi penting.
Rony menegaskan bahwa makna konservasi seharusnya tidak semata “melindungi” alam, tapi memastikan sumber daya alam bisa dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan oleh masyarakat.
“Konservasi adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya alam untuk sebanyak-banyak orang, sebesar-besarnya manfaat, dan sepanjang-panjangnya waktu,” ujarnya.
Bagi Tunggulsari, kata-kata itu adalah pengingat. Bahwa konservasi tidak boleh melupakan manusia yang hidup di tengahnya. Bahwa rob bukan sekadar bencana alam, tapi akibat dari kegagalan integrasi antara tata ruang darat dan laut, antara ekologi dan ekonomi.

Forum Bumi pada 4 Juni 2025 itu juga mempertegas urgensi integrasi pengelolaan darat dan laut. Profesor I Nyoman Suyasa dari Politeknik Ahli Usaha Perikanan Jakarta mengingatkan bahwa 70% sampah di laut Indonesia berasal dari daratan.
“Ada 131 aliran sungai di Indonesia yang menjadi jalan membawa malapetaka ke laut,” katanya.
Sungai-sungai itu bukan hanya saluran air, tetapi juga jalur perlintasan limbah domestik, residu industri, dan sedimentasi liar dari aktivitas manusia yang tak terkelola.
Namun, Nyoman juga menekankan bahwa arah malapetaka bisa berbalik. Ketika laut naik, ketika gelombang makin kuat, justru masyarakat darat—seperti Wati dan Kurniasih di Tunggulsari—yang menanggung beban pertama. “Karena pesisir dan laut yang paling terdampak oleh daratan,” lanjutnya. Maka, pengelolaan wilayah pesisir, kata dia, haruslah terpadu. Bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam aksi.
Apa yang disampaikan Nyoman terasa sangat relevan ketika melihat kondisi Tunggulsari hari ini. Genangan rob yang berkepanjangan bukan hanya soal pasang air laut. Ia juga terkait erat dengan aliran sungai yang tersumbat, dengan sedimentasi yang tidak dibersihkan, dengan absennya pengerukan sungai yang dulu rutin dilakukan.
Aktivitas sederhana seperti pengerukan—membersihkan dasar dan mulut sungai dari lumpur—adalah contoh kecil dari pengelolaan daratan yang berdampak langsung pada kehidupan pesisir. Ketika aktivitas ini dihentikan tanpa penjelasan, maka air yang seharusnya mengalir ke laut tertahan dan menggenangi desa.
Di sinilah konsep integrasi menemukan wujud paling konkritnya: kebijakan darat dan laut tak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri. Program mitigasi bencana pesisir akan gagal jika sistem drainase daratan macet. Begitu juga sebaliknya—upaya melindungi laut akan sia-sia jika hulu dibiarkan rusak. Dalam konteks Tunggulsari, rob adalah hasil dari kegagalan merawat keduanya secara utuh.
Salah satu upaya aksi itu diwujudkan lewat Program SOLUSI (Solutions for Integrated Land-and-Seascape Management in Indonesia) yang digagas oleh konsorsium GIZ, CIFOR-ICRAF, SNV, dan Yayasan KEHATI. Proyek ini dimulai sejak 2023 dan akan berlangsung hingga 2028, menyasar wilayah prioritas di tiga provinsi: Bangka Belitung, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tengah.
Di Jawa Tengah—termasuk Pati—berbagai mitra lokal seperti ARUPA dan TERANGI bisa terlibat dalam kegiatan konservasi, penguatan kapasitas desa, serta pemulihan ekosistem. Salah satu kegiatan spesifiknya adalah:
- Pemulihan ekosistem terestrial dan pesisir di Banyumas, Kebumen, dan Cilacap (ARUPA)
- Kebumen LESTARI: Lindungi Ekosistem dan Sumber Daya Alam Menuju Masyarakat Sejahtera dan Mandiri (TERANGI)
- Pusat Pembelajaran Konservasi Mangrove dan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Brebes (Mangrovesari)
Program-program ini menawarkan pelajaran penting: bahwa pengelolaan lanskap tidak cukup hanya top-down. Ia harus menyentuh tanah, menyapa masyarakat, dan memberi manfaat yang konkret.
Yuliana Cahya Wulan, Program Manager GIZ, menyebutkan bahwa tahapan proyek saat ini fokus pada pengembangan strategi peningkatan kapasitas berbasis hasil kajian CDNA (Capacity Development Need Assessment). Salah satu temuan menarik adalah karakter masyarakat berbeda di tiap wilayah.
“Masyarakat di Jawa Tengah cenderung lebih semangat dibanding dua provinsi lainnya,” ujar Yuliana.

Namun semangat saja tidak cukup jika kebijakan tidak hadir. Di Tunggulsari, genangan tak kunjung surut karena kebijakan normalisasi sungai berhenti tanpa kejelasan. Padahal hanya dengan ritme kerja rutin—pengeburan, pemetaan ulang tata ruang, penanaman mangrove secara tepat—kampung ini bisa kembali bernapas.
Forum dan proyek bisa melahirkan panduan. Tapi suara warga tetap harus menjadi dasar. Media dan komunitas punya peran penting sebagai jembatan: antara data dan derita, antara sains dan suara akar rumput.
Harapan itu masih ada. Matahari mulai naik di atas Tunggulsari. Wati masih duduk di ambang pintu. Genangan belum surut, tapi ia menolak pindah.
“Rumah ini warisan orang tua,” katanya. “Kalau kami pergi, siapa yang jaga laut ini?”
Pertanyaan itu menggantung seperti kabut asin di udara. Mungkin ia tak mencari jawaban dari pemerintah. Ia hanya ingin laut berhenti menjadi tamu tak diundang—dan kembali menjadi rumah yang ramah.
Catatan Penutup:
Tulisan ini merupakan bagian dari upaya menyuarakan tantangan nyata masyarakat pesisir Indonesia yang hidup di garis depan krisis iklim dan tata kelola ruang yang timpang. Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia menjadi ruang penting untuk menghubungkan suara komunitas, sains, dan kebijakan—sebuah jembatan menuju integrasi darat dan laut yang berpihak pada rakyat dan keberlanjutan.
Ditulis oleh: Rizky Riawan Nursatria