BudayaNews

Malam 1 Suro: Antara Tradisi, Mitos, dan Spiritualitas Jawa

SURAKARTA, Lingkartv.com – Malam 1 Suro adalah malam pergantian tahun dalam penanggalan Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram di penanggalan Islam atau kalender Hijriyah.

Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang masih kental dengan adat dan budaya leluhur, malam ini bukan hanya sekadar pergantian tahun—melainkan momen sakral yang penuh makna spiritual dan mitos. Suasana malam 1 Suro identik dengan kesunyian, laku tapa, dan larangan-larangan tertentu yang diwariskan turun-temurun.

Makna Spiritual dalam Budaya Jawa

Dalam kepercayaan masyarakat Kejawen, malam 1 Suro diyakini sebagai waktu di mana tabir antara alam nyata dan alam ghoib menjadi sangat tipis. Karena itu, malam ini dianggap sebagai waktu yang tepat untuk intropeksi diri, melakukan ritual tirakat, dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Banyak orang Jawa yang memilih untuk bertapa, berdoa di tempat-tempat sunyi, atau melakukan perjalanan spiritual ke lokasi keramat. Bagi para pelaku spiritual dan penganut Kejawen, 1 Suro bukan momen untuk hura-hura seperti perayaan tahun baru Masehi, melainkan waktu untuk membersihkan jiwa.

Tradisi seperti “Kungkum” (berendam di sungai atau air terjun tengah malam), “tirakat”, puasa mutih (makan nasi putih dan air putih saja), hingga ziarah kubur dilakukan dengan khidmat sebagai bentuk pensucian batin.

Mitos dan Larangan yang Harus Diperhatikan

Malam 1 Suro juga dikenal dengan banyak mitos dan pantangan yang dipercaya masyarakat secara turun-temurun. Salah satunya adalah larangan menggelar pesta atau pernikahan.

Banyak orang tua yang meyakini bahwa menikah di malam 1 Suro akan membawa sial atau kesulitan dalam rumah tangga. Meski tidak semua orang percaya, mitos ini masih cukup kuat dipegang oleh sebagian besar masyarakat Jawa.

Mitos lain menyebutkan bahwa malam 1 Suro adalah malam “lepasnya makhluk halus” atau waktu saat energi gaib sedang kuat.

Oleh karena itu, orang-orang cenderung menghindari bepergian jauh, apalagi ke temppat-tempat angker. Masyarakat juga menghindari membunyikan suara gaduh, musik keras, atau tertawa berlebihan pada malam itu, karena dipercaya bisa mengundang hal-hal buruk.

Salah satu kisah fenomenal adalah legenda tentang “Keris Pustaka” yang harus dijamas atau dimandikan setiap malam 1 Suro agar tidak membawa energi negatif. Prosesi jamasan pusaka dilakukan dengan sangat hati-hati, penuh doa dan air khusus, menunjukkan betapa malam ini dipandang sebagai malam magis yang penuh kekuatan mistik.

Kirab Malam 1 Suro di Keraton

Salah satu perayaan malam 1 Suro yang paling dikenal publik adalah “Kirab Pusaka Malam 1 Suro” di Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Dalam kirab ini, pusaka-pusaka kerajaan seperti keris dan tombak diarak mengelilingi lingkungan keraton secara diam-diam dan khusyuk.

Para abdi dalem berjalan tanpa bicara, menunjukkan kesakralan ritual tersebut. Prosesi ini menggambarkan betapa pentingnya warisan budaya dan kepercayaan spiritual masyarakat Jawa terhadap Malam 1 Suro.

Tahun 2025 ini, Kirab Malam 1 Suro yang diadakan di Keraton Surakarta dan Yogyakarta dilaksanakan pada Kamis, 26 Juni 2025 pukul 23.59 WIB hingga Jumat, 27 Juni 2025 pukul 03.00 WIB.

1 Suro di Era Modern

Meskipun zaman telah berubah, nilai-nila dalam malam ini masih dijaga oleh sebagian masyarakat. Meski sebgaian orang kini menganggapnya sebagai mitos belaka, banyak pula yang tetap menghormatinya sebagai bagian dari identitas budaya. Bahkan, kalangan muda kini mulai melirik kembali laku spiritual dan filosofi hidup Jawa yang terkandung di balik malam Suro.

Pemerintah daerah dan komunitas budaya juga aktif menggelar acara budaya yang mengangkat kembali tradisi ini, baik dalam bentuk festival budaya maupun diskusi spiritual.

Dengan melibatkan kalangan muda dalam proses pelestarian budaya ini maka semakin membuat banyak pemuda yang tertarik dan terus ingin tahu mengenai sejarah dan mitos apa saja yang ada di dalamnya.

Hal ini menunjukkan bahwa mitos dan tradisi 1 Suro bukan sekadar cerita lama, melainkan bagian dari kekayaan spiritual Nusantara yang patut dilestarikan agar anak cucu kelak masih bisa menikmati segala budaya yang ada dan menghindari kejadian budaya Indonesia diakui oleh negara lain.. (*)

Sumber: Istimewa

Editor: Debby Sweta Stevani

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari lingkartv.com

Artikel Terkait

Back to top button