Peristiwa

Rapor Merah Keselamatan Kerja di Balik Laporan ESG, Kelalaian Perusahaan yang Kerap Disebut Takdir

Jakarta, Lingkartv.com – Satu kematian pekerja seharusnya sudah cukup untuk menghentikan mesin pabrik, mengguncang ruang direksi, dan membuat kita bertanya: siapa yang salah? Tapi di Indonesia, kita seperti terbiasa dengan kematian pada keselamatan kerja. 

Pada 2021, ada 3.410 orang meninggal atau luka karena kecelakaan kerja. Setahun kemudian, angkanya hampir dua kali lipat: 6.552 kasus.

Nyawa yang hilang tidak mengguncang siapa pun. Tak satu pun dari para pemimpin perusahaan diciduk, tak ada menteri yang meminta maaf, tak banyak laporan investigasi yang ditulis media. Kita menonton tragedi itu seperti menonton sinetron sore: datar, akrab, dan segera dilupakan.

Beberapa pekan terakhir, berita tentang kecelakaan kerja seperti antre: seorang pekerja Wilmar Dumai tewas terbakar, tiga anak buah kapal Indonesia meregang nyawa di Korea Selatan, tiga buruh pabrik kulit di Sumedang tewas tenggelam di kolam limbah. Semuanya meninggal saat bekerja—mencari nafkah.

Mereka bukan statistik. Mereka adalah ayah, anak, suami, teman. Tapi di sistem kita yang pincang, nyawa mereka hanya menjadi catatan kaki dalam laporan kecelakaan.

Kita sedang berada di tengah gembar-gembor pertumbuhan ekonomi, banjir investasi, dan proyek-proyek raksasa yang digadang-gadang membawa kemakmuran. Tapi di balik itu semua, ada retakan yang dalam—sistem keselamatan kerja yang nyaris roboh.

Tanggal 28 April adalah Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Sedunia. Tiga hari kemudian, 1 Mei, Hari Buruh Internasional. Dua momen yang seharusnya membuat kita bertanya: apakah pekerja kita cukup dilindungi?

Jawabannya ada di angka: 462.241 kasus kecelakaan kerja dilaporkan BPJS Ketenagakerjaan pada 2024. Itu berarti lebih dari 1.200 insiden setiap hari. Di dunia, menurut ILO, lebih dari 2,7 juta pekerja meninggal setiap tahun karena kecelakaan atau penyakit akibat kerja—satu orang setiap 11 detik.

Namun, inspektur ketenagakerjaan kita hanya segelintir, SOP hanya tempelan, dan budaya menyalahkan korban masih langgeng.

Kita kerap menyalahkan alat pelindung diri yang tak layak, atau pelatihan yang setengah hati. Tapi masalah sebenarnya lebih dalam. Sistem pengawasan kita lumpuh. Penegakan hukum tumpul. Laporan kecelakaan nyaris tak pernah dibuka ke publik. Tak ada akuntabilitas, tak ada koreksi.

Perusahaan lebih sibuk menyusun SOP dan menyewa konsultan ESG daripada membangun budaya keselamatan yang nyata. Mereka ingin tampak peduli—bukan benar-benar peduli.

Setelah kecelakaan, biasanya hanya ada pengumuman singkat, pemakaman, lalu diam. Tak ada penyelidikan terbuka.

Tak ada pelajaran dari satu tragedi untuk mencegah tragedi berikutnya. Apalagi jika korbannya buruh kontrak, pekerja outsourcing, atau tenaga informal. Mereka nyaris tidak memiliki perlindungan apa pun.

Indonesia tidak kekurangan regulasi. Yang hilang adalah keberanian menegakkan hukum, dan empati untuk melihat pekerja sebagai manusia, bukan angka produksi.

Kematian pekerja bukan bagian dari risiko usaha.  Ia adalah tanda dari sistem yang gagal. Kita tak bisa terus menunggu tragedi menimpa orang terdekat untuk mulai peduli. Satu nyawa terlalu banyak. Sudah cukup. (Satria – Lingkartv.com)

Artikel Terkait

Back to top button