
Pasang Surut Batik Tulis Lasem di Era Modern, Omzet Makin Turun dan Bertahan Melawan Mesin Print
Rembang, Lingkartv.com – Pagi itu, sinar matahari baru saja menyapu lembut atap-atap rumah di Lasem, sebuah kota kecil di pesisir utara Rembang yang sejak dulu dikenal sebagai kota batik.
Di sebuah sudut rumah tua bercat kusam, para pengrajin batik duduk di atas dingklik kayu, menggenggam canting di tangan kanan dan selembar kain mori di depannya.
Tangan-tangan itu, yang sejak remaja telah mahir menari di atas kain, kini bekerja lebih lambat dari biasanya. Bukan karena usia, tapi karena beratnya beban yang dirasakan. Bella Ayu Paramitha adalah pemilik Batik Tulis Sekarmulyo, salah satu dari sedikit perajin yang masih bertahan dengan metode tradisional.
Namun belakangan, bukan hanya turunnya omzet yang ia hadapi, melainkan juga ancaman yang lebih dalam: hilangnya identitas budaya.
Di tengah derasnya arus industri dan digitalisasi, batik printing—yang diproduksi massal dengan mesin—membanjiri pasar. Harganya jauh lebih murah, tampilannya nyaris tak bisa dibedakan oleh mata awam, dan yang paling menyakitkan: banyak pedagang yang menjualnya dengan label “Batik Lasem”.
Batik tulis Lasem dibuat dengan cinta, kesabaran, dan filosofi yang ditanam sejak generasi ke generasi. Membatik bukan pekerjaan kilat—butuh waktu berhari-hari bahkan berminggu untuk menyelesaikan satu kain.
Namun kini, budaya itu tergeser oleh mesin. Proses cetak cepat batik printing menggantikan goresan canting yang berliku. Tak ada lagi aroma malam panas yang menguar di pagi hari, tak ada lagi tangan berkeringat yang menggurat motif dengan penuh rasa.
Kekhawatiran Bella bukan sekadar soal pendapatan. Ia adalah jeritan diam seorang pelestari budaya, yang setiap harinya menyaksikan tradisi ditinggalkan oleh zaman. Pemerintah, kata Bella, perlu hadir—tidak hanya dengan regulasi, tapi juga perlindungan nyata terhadap batik tulis sebagai warisan budaya tak benda. (Vicky Rio – Lingkartv.com)