PemerintahanEkonomi

Menakar Fungsi Pembentukan Gugus Tugas PHK, Antisipasi Kecemasan Masyarakat di Tengah Krisis Global

Jakarta, Lingkartv.com – Pagi itu, Jakarta masih bernafas dalam ritme kota besar yang tak pernah benar-benar tidur. Lalu lintas menggeliat seperti biasa, suara klakson bersahutan, dan di sela-sela kabut asap tipis, sebuah wacana lahir dari podium forum ekonomi: Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia, memerintahkan pembentukan Gugus Tugas PHK.

Barangkali, bagi sebagian orang, itu hanya pengumuman biasa—sekadar tanggapan normatif terhadap keresahan buruh, angka pengangguran, dan gejolak pasar kerja. 

Namun bagi ribuan, bahkan jutaan pekerja di tanah air, yang pagi ini bangun dengan rasa cemas akan surat pemutusan hubungan kerja yang bisa datang kapan saja, itu adalah seberkas cahaya.

Di luar laporan dan angka-angka tertata itu, rakyat kecil tahu bahwa realitas tidak selalu serapi laporan. Begitu pula dengan harapan yang kini digantungkan pada sebuah gugus tugas: harapan bahwa pekerjaan mereka, penghasilan mereka, dan martabat mereka sebagai pekerja, tidak akan sirna dalam diam-diam.

Presiden Prabowo tidak sekadar membentuk gugus tugas ini sebagai respons. Ia menyebutnya sebagai langkah strategis—sebuah siasat negara untuk menghadang gelombang badai ekonomi global yang tengah mengintai.

Ia tahu, seperti yang pernah dirasakan Indonesia saat krisis moneter 1998, bahwa pemutusan hubungan kerja bukan sekadar angka dalam grafik ekonomi.

Itu adalah tragedi harian: dapur yang tak lagi mengepul, anak-anak yang terancam putus sekolah, dan rumah yang mendadak terasa asing karena penghasilan hilang.

Di balik pembentukan gugus tugas itu, tersembunyi satu gagasan besar: perubahan paradigma hubungan industrial di Indonesia. Selama ini, hubungan itu terlalu sering dibentuk atas dasar kecurigaan, bukan kemitraan. Pekerja takut pada pemilik modal. Pengusaha curiga pada serikat buruh. Pemerintah sering kali datang terlambat, atau malah sekadar jadi penonton.

Kini, dengan keberadaan pemerintah, pelaku usaha, serikat buruh, dan pakar dalam satu meja kerja yang sama, Prabowo tampaknya ingin mencairkan ketegangan itu. Tetapi, benarkah demikian?

Pertanyaannya kemudian mengemuka: apakah gugus tugas ini akan benar-benar bekerja efektif dalam jangka panjang? Apakah ia akan menjadi alat negara yang nyata, atau hanya simbol politik untuk meredam kegelisahan menjelang Hari Buruh Internasional pada 1 Mei nanti?

Sebab kenyataannya, tantangan pemutusan hubungan kerja hari ini bukan hanya berasal dari relasi kerja yang stagnan, tapi dari perubahan ekonomi global yang melaju cepat. Proteksionisme Amerika, transformasi digital, kecerdasan buatan, hingga transisi menuju energi bersih—semuanya menggerus lapangan kerja konvensional yang dulu stabil dan mapan.

Maka dari itu, sekadar menurunkan jam kerja atau memberi insentif jangka pendek jelas tak cukup. Dibutuhkan pendekatan yang sistematis, antisipatif, dan berpijak pada ketahanan industri nasional serta daya lenting tenaga kerja.

BPJS Ketenagakerjaan memang telah memiliki program jaminan kehilangan pekerjaan. Tapi seberapa efektif program itu di lapangan?

Apakah benar-benar menjangkau mereka yang kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba? Apakah pencairannya cepat dan mudah? Ataukah, seperti banyak kebijakan lain, hanya bagus di atas kertas?

Tanpa evaluasi menyeluruh, jaminan sosial itu bisa saja menjadi janji kosong yang menguap di tengah angin politik. (Satria – Lingkartv.com)

Artikel Terkait

Back to top button