
Banjir Rob di Tunggulsari Pati Tak Kunjung Surut, Warga Masih Was-Was
Pati, Lingkartv.com – Pada suatu pagi yang lembab dan sunyi di Desa Tunggulsari, Kecamatan Tayu, Wati duduk di ambang pintu rumahnya yang setengah tenggelam. Di depannya, air pasang tak lagi asing.
Ia telah menjadi bagian dari halaman rumah, dari jalan setapak, dari tambak nila yang kini kosong. Telah sebulan lamanya genangan itu bertahan, seolah tak ingin pergi.
“Sudah sebulan seperti ini,” kata Wati pelan, matanya menatap datar ke arah tambak yang dulu menjadi tempat suaminya bekerja.
Kini tambak itu hanya hamparan air asin bercampur lumpur, dan ikan-ikan mati yang mengambang, perlahan membusuk bersama harapan.
“Bantuan dari pemerintah ada seperti mie instan dan beras, tapi masih bingung buat ke depannya bagaimana,” ujarnya.
Wati bukan satu-satunya. Di RT 5, Kurniasih, perempuan lain yang juga telah hidup berdamai dengan air, mengaku tahun ini adalah yang terparah. Ia mengangkat ujung sarungnya agar tidak basah saat melangkah di antara genangan yang tak kunjung surut.
“Biasanya tidak parah, tapi ini sudah satu bulan belum surut,” katanya.
Ia menyebut soal pengeburan sungai yang absen—ritual teknis yang dulu selalu ada, dua bulan sekali, dan dipercaya menjadi penghalau bencana.
“Harusnya sekitar sungai itu ada pengeburan, sekarang kok tidak ada. Kami bingung juga.”
Dalam ketidakpastian itu, Kurniasih menggantungkan harapan pada layar kecil di tangannya. Melalui internet, ia memantau pergerakan pasang surut laut, seperti menunggu datangnya musuh yang tak kasat mata.
“Supaya bisa berjaga-jaga,” katanya, nyaris seperti bisikan doa.
BPBD: Curah Hujan Tinggi dan Air Pasang Memperparah Banjir Rob di Tunggulsari

Menurut Kepala BPBD Kabupaten Pati, Martinus Budi Prasetya, bencana rob di Tunggulsari dan beberapa desa di Kecamatan Tayu adalah gabungan antara air pasang dan hujan deras yang datang pada pertengahan Juni.
“Terjadi curah hujan dengan intensitas sedang mengakibatkan ada penambahan ketinggian banjir rob,” kata Martinus. “Kemudian merambah ke pemukiman warga.”
Namun, bagi warga seperti Wati dan Kurniasih, angka curah hujan dan grafik pasang laut hanya deretan statistik yang tak menjawab pertanyaan paling mendasar: ke mana mereka harus berlindung saat air datang seperti tamu tak diundang, yang tak tahu diri?
Di Desa Tunggulsari, rob bukan sekadar air. Ia adalah ingatan kolektif tentang kehilangan—pekerjaan, tempat tinggal, bahkan rasa aman. Ia juga adalah cermin tentang betapa kecilnya manusia ketika berhadapan dengan alam, dan betapa sunyinya suara dari desa ketika berbicara pada negara.
Wati masih menatap tambak. Air itu tak hanya menggenangi tanahnya, tapi juga hidupnya. Sementara waktu berjalan pelan, seperti air rob yang terus bertahan, entah sampai kapan. (Satria – Lingkartv.com)