Pendidikan

Ketok Palu Tukin Dosen ASN lewat Perpres, Titik Balik Pengabdian yang Akhirnya Diakui Negara

Jakarta, Lingkartv.com – Di antara dinding tinggi kampus-kampus negeri, dalam lorong-lorong fakultas yang sunyi di akhir pekan, dan di balik meja kayu tua ruang dosen yang penuh buku dan catatan tangan, terdapat sekelompok manusia yang memilih jalan sunyi: mengabdi kepada ilmu, kepada generasi, dan kepada negara.

Mereka adalah dosen Aparatur Sipil Negara (ASN)—wajah-wajah yang setiap harinya menyalakan obor pengetahuan tanpa panggung, tanpa gembar-gembor, tanpa keluhan. Tapi bukan berarti tanpa luka.

Bertahun-tahun lamanya, mereka menjalankan tugas negara yang tidak ringan: mengajar, meneliti, membimbing mahasiswa, menulis jurnal, mempresentasikan riset di forum-forum akademik dunia. Semuanya dilakukan dengan satu keyakinan: negara hadir. Tapi pada satu titik, mereka mulai bertanya-tanya, apakah negara sungguh melihat mereka?

Satu hal tak berubah: mereka menunggu. Menunggu keadilan dalam bentuk yang paling sederhana—kesetaraan. Karena di dalam tubuh ASN, dosen ternyata menjadi salah satu kelompok yang tertinggal. Tak seperti pegawai kementerian atau lembaga negara lainnya, dosen ASN belum juga menerima tunjangan kinerja (tukin), bahkan hingga dua dekade sejak reformasi birokrasi digaungkan.

Pertanyaannya sederhana namun tajam:
“Mengapa pengabdi ilmu negara harus menunggu begitu lama untuk mendapatkan haknya?”

Presiden Prabowo Subianto, dalam pengantar Sidang Kabinet Paripurna pertamanya pada Oktober 2024, menyatakan bahwa pendidikan adalah prioritas utama pemerintahannya. Tapi di ruang-ruang dosen, kalimat itu masih terasa seperti gema kosong, sampai akhirnya sesuatu terjadi.

Pada penghujung 2024 dan awal 2025, kampus-kampus mulai bersuara. Tidak lewat orasi keras atau poster raksasa. Melainkan melalui aksi damai, petisi, diskusi publik, dan surat terbuka. Para dosen yang tergabung dalam Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (Adaksi) berdiri di garis depan.

Mereka tidak menuntut lebih. Hanya satu hal yang mereka minta: kesetaraan dalam sistem ASN.

“Jika pegawai kementerian lain bisa menerima tukin berdasarkan kinerja, mengapa dosen sebagai ASN yang menjalankan tugas profesional negara tidak bisa?”

Jawaban dari negara datang pada bulan Maret 2025, bukan dalam bentuk pidato, tetapi dalam bentuk hukum: Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tunjangan Kinerja Dosen ASN.

Perpres itu menjadi lembaran baru dalam sejarah panjang para pendidik tinggi ini. Bukan hanya keputusan administratif, tapi penegasan simbolik bahwa negara, pada akhirnya, mendengar.

Tindak lanjutnya pun konkret. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp2,66 triliun untuk membayar tukin dosen ASN selama 14 bulan—mulai dari gaji Januari hingga Desember, termasuk THR dan gaji ke-13.

Skema tukin ini akan menjangkau 31.066 dosen ASN, yang terdiri dari:

  • 8.725 dosen satuan kerja perguruan tinggi negeri (PTN),
  • 16.540 dosen PTN Badan Layanan Umum (BLU) yang belum menerima remunerasi,
  • dan 5.801 dosen dari lembaga layanan (LL) Dikti.

Sri Mulyani menegaskan, negara tak akan berhenti di sini. Komitmen pada pendidikan tinggi akan terus dijaga.

“Kita tetap menjaga gaji dosen, tunjangan, dan beasiswa, tetap menjadi prioritas,” katanya.

Kini, di ruang-ruang kampus, suara keyboard laptop kembali terdengar, pelan tapi pasti. Bukan sekadar mengetik bahan ajar atau proposal riset. Tapi barangkali, mengetik dengan hati yang sedikit lebih tenang, karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, negara menyentuh pundak mereka, dan berkata, “Kami tahu kamu ada.” (Satria – Lingkartv.com)

Artikel Terkait

Back to top button