
Pengamat: Program Makan Bergizi Gratis Dinilai Belum Tepat Sasaran, Berisiko Gagal Jika Dipaksakan
SEMARANG, Lingkartv.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah digencarkan pemerintah menuai kritik dari kalangan pengamat ekonomi. Salah satunya datang dari Ekonom Bright Institute, Awali Rizky, yang menilai program tersebut belum berjalan optimal dan rawan membebani keuangan negara jika tetap dipaksakan secara universal.
Hal itu disampaikan Awali dalam forum Jurnalis Ngobrol Ekonomi Indonesia yang digelar di Kota Semarang, Selasa (8/7/2025). Menurutnya, pendekatan MBG yang bersifat menyeluruh justru kurang tepat sasaran dan berpotensi tidak efektif.
“Belakangan, program makan bergizi gratis di berbagai negara sifatnya selektif, artinya ada kriterianya, tidak semua orang dapat. Yang tidak bersifat universal justru menunjukkan hasil lebih baik karena membantu mengurangi ketimpangan. Orang yang diberi karena memang layak diberi,” ujarnya.
Awali menyebut, jika program ini tetap menyasar lebih dari 83 juta penerima, termasuk siswa SD, SMP, SMA, santri pondok pesantren, dan ibu hamil, maka dibutuhkan anggaran yang sangat besar.
Ia mengungkapkan, meskipun nilai per porsi MBG telah diturunkan dari Rp15.000 menjadi Rp10.000, total anggaran yang dibutuhkan masih menyentuh angka Rp400 triliun.
“Apakah ada anggaran sebesar itu? Saya kebetulan mendalami bidang fiskal, dan saya bisa katakan tidak ada dana longgar sebesar itu,” tegasnya.
Beberapa kementerian, seperti Kementerian PUPR, disebut telah berupaya melakukan efisiensi anggaran untuk mendukung program MBG. Namun, menurut Awali, penghematan dari pos belanja non-prioritas di beberapa instansi belum cukup menutup kebutuhan biaya besar program tersebut.
Ekonom Menyoroti soal Anggaran Makan Bergizi Gratis
Selain soal anggaran, Awali juga menyoroti tantangan teknis dalam pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG), terutama mengingat keragaman wilayah dan budaya di Indonesia. Penerapan standar operasional prosedur (SOP) yang seragam dinilai akan sulit dijalankan di berbagai daerah.
“Akan ada masalah teknis yang membuat pemerintah harus melakukan penyesuaian. Pilihannya sudah ada berbagai macam, tapi tetap tidak mudah. Masalah lain seperti keracunan, lauk mentah, dan sebagainya tetap bisa muncul,” ucapnya.
Ia pun mengkritisi klaim bahwa program MBG dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Menurutnya, pola distribusi yang terlalu sentralistik justru membatasi peran pelaku usaha pangan lokal.
“Rata-rata SPPG (Satuan Penyedia Pangan Gizi) harus mematuhi aturan pasokan tertentu yang berujung pada sentralisasi. Jika pola seperti ini terus dipaksakan, program MBG justru bisa berada di ambang kegagalan,” tandasnya.
Menutup pernyataannya, Awali Rizky mendorong agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh dan mengadopsi pendekatan yang lebih selektif agar program ini tepat sasaran dan berkelanjutan. (Rizky Syahrul / Lingkartv.com)