
SOLO, LingkarTV.com – Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menegaskan komitmennya dalam memperkuat layanan bantuan hukum dan perlindungan terpadu bagi perempuan, anak, dan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan.
Komitmen ini disampaikan oleh Ketua Majelis Hukum dan HAM PP ‘Aisyiyah, Henni Wijayanti, SH., M.Hum, dalam acara yang diselenggarakan oleh Majelis Hukum dan HAM bekerja sama dengan Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jateng, di Balai Kota Surakarta, pada 15 Juli 2025.
Dalam konsolidasi tersebut, Henni menyoroti masih tingginya angka kekerasan terhadap kelompok rentan, terutama perempuan, anak, dan difabel, di tengah masih terbatasnya akses terhadap layanan hukum yang layak dan komprehensif. Ia menyebut bahwa kondisi ini menuntut respons nyata dari berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi keagamaan seperti ‘Aisyiyah. “Kita tidak bisa membiarkan korban menghadapi proses hukum sendirian. ‘Aisyiyah hadir untuk memastikan bahwa keadilan bisa diakses oleh mereka yang selama ini sering terpinggirkan,” ujar Henni.
‘Aisyiyah Mendirikan Posbakum untuk Memberikan Pendampingan Hukum
Henni menjelaskan, salah satu langkah strategis yang dilakukan ‘Aisyiyah adalah melalui pembentukan Pos Bantuan Hukum atau Posbakum di berbagai wilayah dan daerah. Posbakum ini menjadi ujung tombak dalam memberikan pendampingan hukum kepada korban kekerasan secara gratis, terstruktur, dan berkelanjutan. Di samping itu, ‘Aisyiyah juga mendorong pelatihan bagi para paralegal agar dapat mendampingi korban mulai dari proses pelaporan ke kepolisian, persidangan, hingga tahap rehabilitasi dan pemberdayaan.
Berbagai program yang diinisiasi oleh Majelis Hukum dan HAM ‘Aisyiyah tak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi juga merangkul pendekatan yang lebih holistik. Model layanan hukum terpadu yang dikembangkan mencakup pendampingan psikososial seperti trauma healing dan konseling, bantuan medis termasuk kerja sama dengan rumah sakit untuk layanan visum gratis, hingga pelatihan keterampilan ekonomi bagi penyintas kekerasan agar mereka bisa kembali mandiri.
Dalam forum yang sama, Henni juga mengungkapkan berbagai tantangan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan layanan ini, mulai dari kurangnya tenaga pendamping yang terlatih, terbatasnya sumber daya keuangan, hingga belum optimalnya koordinasi dengan lembaga pemerintah maupun aparat penegak hukum. Meski begitu, ‘Aisyiyah terus mendorong sinergi lintas sektor, baik dengan Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, rumah sakit, maupun lembaga perlindungan perempuan dan anak di tingkat lokal, seperti P2TP2A dan UPTD PPA.
Upaya ‘Aisyiyah dalam mewujudkan masyarakat sadar hukum juga dilakukan melalui kegiatan penyuluhan dan edukasi hukum yang menyasar berbagai kalangan, mulai dari ibu-ibu pengajian, kelompok remaja, hingga komunitas laki-laki. Melalui kerja sama dengan Majelis Tabliq, Majelis Kesejahteraan Sosial, serta institusi pendidikan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, penyuluhan ini bertujuan menanamkan kesadaran hukum sejak dini serta membangun kultur perlindungan terhadap kelompok rentan di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Henni menambahkan bahwa sebagai organisasi perempuan berbasis nilai Islam berkemajuan, ‘Aisyiyah juga aktif melakukan advokasi terhadap pelaksanaan sejumlah undang-undang penting seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Advokasi dilakukan dalam bentuk pemantauan implementasi kebijakan, kajian akademik, serta usulan perbaikan regulasi di tingkat lokal maupun nasional.
Program lain yang kini menjadi fokus adalah mendorong akreditasi dan reakreditasi Posbakum ‘Aisyiyah, yang ditargetkan berjalan pada tahun 2024 dan 2027. Proses ini diharapkan mampu memastikan bahwa seluruh Posbakum yang beroperasi telah memenuhi standar layanan bantuan hukum sesuai ketentuan nasional, sekaligus meningkatkan kualitas pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dan rentan.
Di akhir paparannya, Henni menyerukan pentingnya membangun sinergi antara organisasi kemasyarakatan, institusi pemerintah, dunia pendidikan, dan sektor swasta. Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap perempuan, anak, dan difabel tidak bisa dilakukan secara sporadis, tetapi harus dijalankan secara terstruktur, berkesinambungan, dan berbasis kolaborasi.
“Posbakum ‘Aisyiyah adalah sarana mewujudkan keadilan substantif bagi kelompok yang paling rentan. Untuk itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi kunci dalam memperluas jangkauan dan kualitas layanan yang kami berikan,” tutup Henni. (Nailin RA / Lingkartv.com)